Sunday, April 09, 2006


Cerah Masa Depan Industri Jasa Logistik dan Ekspres
BELUM genap sepuluh tahun industri jasa logistik diperkenalkan tahun 1995 di bumi Indonesia, kini jasa pelayanan yang relatif masih muda ini sudah mbludak. Tidak mengherankan, faktor investor kecil dan besar melirik padanya tidak lain adalah angka menggiurkan 1 miliar dollar AS potensi jasa ini di Indonesia. Angka tersebut adalah biaya per tahun yang dikeluarkan untuk jasa transportasi, pergudangan, manajemen pergudangan dan asistensi kemudahan pergerakan cepat produk pabrik mengalir ke konsumen.
INDUSTRI jasa ekspres yang mulai menjamur sejak dekade 1970 kemudian menjadi primadona bisnis sektor ini, dalam sekejap disalipnya, mengubah tatanan bisnis ini dengan perbandingannya menjadi 1:5. Terlebih lagi, logistik sudah menjadi tren global dengan munculnya global forwarder. Itu pun tidak terlalu mengejutkan, sebab estimasi potensi industri jasa ekspres negeri khatulistiwa ini berkisar angka 100 juta plus, sementara industri jasa logistik 800 juta sampai 1 miliar dollar AS.
Keduanya ibarat gula dikerubuti ribuan semut, dapat disaksikan di daerah pergudangan kargo bandar udara utama Indonesia, Soekarno-Hatta. Pemandangannya tidak ubahnya mirip pasar lengkap dengan "kaki lima", yakni mereka yang menawarkan jasa pengurusan pengiriman maupun pengeluaran barang dari gudang bandar udara. Mereka lebih dikenal sebagai DPR-singkatan dari di bawah pohon rindang-bermodal laptop atau mesin ketik, bekerja di bawah pohon atau emperan pergudangan. Serta tentu, bekal pengetahuan pengurusan keluar-masuk arus barang di gerbang utama udara ini.
Berdampingan dengan kawasan pergudangan tersebut, pemandangan Kompleks Pergudangan Soewarna Taman Niaga Soewarna yang dikelola PT Sanggraha Daksamitra, jauh berbeda, tertib teratur serta lingkungannya bersih. Tidak kalah resik dan nyamannya dengan kawasan serupa di Singapura. Di sini tidak dijumpai jajaran kaki-lima dan warehouse (pergudangan) yang lebih bersih, berstandar internasional dengan konsep 2 in 1, gudang rangkap kantor dalam satu atap. Selain ini, gudang-gudangnya didukung oleh saluran telekomunikasi serat optik dan fasilitas sistem pengolahan limbah.
Di luar gudang yang hampir rampung dibangun perusahaan logistik TNT Logistics-perusahaan asing pertama yang memperkenalkan jasa logistik di Indonesia-gudang-gudang berukuran rata-rata sebuah 497 meter persegi kompleks pergudangan Soewarna, sudah padat disewa 22 perusahaan freight forwarder nasional. Gudangnya sudah merupakan bonded warehouses.
Data menggambarkan, di bandar udara Soekarno-Hatta menurut Ketua Gabungan Forwarder dan Expedisi Indonesia (Gafeksi) Perwakilan Bandara Soekarno-Hatta, Soedjarwo Sudarmo, tercatat 402 perusahaan yang bernaung di bawah Gafeksi dan 80 persen pergerakan barang atau kargo ditangani oleh perusahaan freight forwarder.
"Ini merupakan indikasi kuat bahwa keberadaan kami memang diperlukan karenanya perlu penataan dan pembenahan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di kemudian hari, misalnya persaingan tidak sehat sesama anggota," jelas Soedjarwo. Suasana tersebut dapat dicapai apabila disertai rules of the games (aturan main) yang jelas serta ditaati dan dipatuhi anggota Gafeksi.
Mungkin yang paling menonjol saat ini dalam pengurusan barang inbound (masuk) dan outbound (keluar) adalah pengurusan masalah bea-cukai. Birokrasi lama yang membutuhan 40 tanda tangan, dapat dipangkas oleh instansi Bea Cukai menjadi satu atau dua tanda tangan bagi pengurusan arus keluar-masuk barang. Suatu kemajuan besar.
Sayangnya, masih banyak ganjalan yang masih melekat dari sejak zaman di bandara Halim Perdanakusuma hingga sekarang. Akibatnya, kemajuan layanan yang diberikan Bea Cukai, tidak diimbangi oleh kelancaran-kelancaran lainnya, di antaranya soal storage fee 5 sen dollar AS, sewa gudang yang didasari oleh chargeable weight dan bukan berdasar gross weight dalam pengurusan barang.
DENGAN kecenderungan kuat negara-negara maju sekarang membuat barang jadi dimanufaktur di luar negaranya, kemudian arus globalisasi menjadikan pasar menjadi tanpa batas, mendorong perusahaan jasa logistik-ekspres raksasa mengakuisisi perusahaan besar lainnya. Contohnya Deutsche Post membeli DHL, kemudian Danzas, dalam upayanya menjadi global forwarder. Diproyeksikan mungkin maksimum akan ada 10 perusahaan jenis ini.
Indonesia dengan 215 juta penduduknya, sekaligus pula menjadi potensi pasar menggiurkan, menjadi sasaran arus global forwarder yang kini dirasakan dengan kehadiran mega forwarder di Indonesia.
Siapkah negeri ini menerima kedatangan mereka? Mungkin jawabannya adalah masih jauh dari siap meski kini diperkirakan ada 4.000 perusahaan forwarder yang menawarkan jasanya. Dari jumlah ini, mungkin hanya 30 perusahaan yang berkemampuan bekerja sama dengan mitra luar negeri dalam mengantisipasi tren tersebut.
"Kita kalah dalam segala hal. Teknologi, modal, jaringan maupun sistem. Kualitas kita itu paling sama dengan Banglades. Tapi dengan kondisi begini apakah kita harus turut terpuruk? Jelas tidak," ujar Soedjarwo Sudarmo, Presiden/CEO Fin Logistics. Pendapat sama juga dilontarkan orang nomor satu MSA Cargo, Monang Sianipar yang mendampingi Soedjarwo yang baru-baru ini diangkat sebagai Ketua Gafeksi Perwakilan Bandara Soekarno-Hatta.
Menghadapi tren ini, baik pucuk pemimpin RPX (Republik Express), Harsha Edwana Joesoef yang perusahaannya ini mewakili perusahaan AS, Federal Express (FedEx), Soedjarwo Sudarmo yang perusahaan menggandeng perusahaan Hallmann dan Monang Sianipar, punya satu pendapat sama, usaha ini harus jelas aturan mainnya. Mereka menginginkan agar minimal usaha jasa jenis ini bisa jadi tuan rumah di negara sendiri.
"Jadi major player itu (maksudnya perusahaan asing yang kini berubah jadi perusahaan raksasa global forwarder-Red) masuknya hanya di gateway (pintu gerbang, dalam hal ini Jakarta). Di luar gateway, itu urusan kita, perusahaan lokal," tegas Harsha.
Secara kebetulan, hubungan RPX dengan FedEx dinilai pas sebab pesawat kargo perusahaan raksasa ini hanya datang sampai pintu gerbang bandar udara Soekarno-Hatta Jakarta. Selanjutnya dari pintu utama Indonesia ini, ditangani oleh perusahaannya sehingga dengan demikian RPX pun dapat berkembang.
Model semacam inilah menurut pendapatnya harus dipertahankan oleh pemerintah. "Jangan supermarket sangat besar berada di kampung. Amerika Serikat pun tidak (sepenuhnya) terbuka. Tidak ada penerbangan asing terbang dari Dallas ke Denver!" ujarnya pula.
Ketiga pelaku ekonomi ini sangat concern sebab sudah ada indikasi bahwa Indonesia ingin membuka pintu selebar-lebarnya. Mereka mengkhawatirkan major player bila tidak dibatasi gerbang masuk Indonesia, akan mengambil porsi down-stream perusahaan lokal. "Saya kira pemerintah perlu memberi perlindungan bagi player domestic. Sebab kalau tidak, bila mereka (perusahaan global forwarder) mengambil pula porsi down-stream, gudang, dan transportasinya. Lalu di mana keberadaan kita ini?" kata Monang Sianipar.
Sudah jelas bila hal tersebut terjadi, perusahaan kecil yang berkantor di perumahan seperti DNA Express di belakang kawasan Permata Hijau, CM World Wide Express di kawasan Duren Tiga Barat, Tras Express International Express Courier & Cargo, dan Courier Service Network (CNS) di Kalibata Tengah, tidak bakal dapat bertahan.
"Agar bisa bertahan sekarang saja, kami beraliansi antara empat sampai lima perusahaan sehingga barang yang kami kirim cukup besar (volumenya)," ungkap Ary Tjandra dari DNA Express. Antara lain beraliansi dengan Zoely WS (CM World Wide Express), dan Kiswanto (Tras Express). Volume barang/dokumen yang mereka kirim tidak besar, senilai 20.000 dollar AS setahun, tapi cukup untuk membiayai operasi perusahaan yang dimotori oleh enam sampai delapan tenaga.
Menurut Harsha yang perusahaannya juga bergerak di bidang ground delivery selain mengoperasi pesawat kargo Boeing 737-200, bila ingin membuka pasar bagi industri ini, Indonesia harus berhati-hati. Yang pasti, peraturannya harus jelas agar tercapai win-win solution mengingat meskipun saat ini potensinya masih tergolong kecil, nilai tambahnya ada dengan 200 juta lebih penduduknya. Sumber alamnya banyak sehingga memungkinkan potensi tersebut bisa 10 kali bahkan 100 kali lebih besar.
Kunci lain pelaku ekonomi pada industri ini belum bisa berkembang, yang terletak pada infrastruktur yang saat ini masih kurang mendukung. Ia memberi contoh duren seharga Rp 500 di Sumatera Selatan, di toko buah Total di Jalan Panglima Polim, Kebayoran, melonjak harganya menjadi Rp 50.000. Pada akhirnya konsumen yang harus membayar tinggi barang karena dalam perjalanan dari Sumsel sampai ke Jakarta, armada angkutan harus membayar pungutan liar sepanjang jalan. Selain ini, jalan rayanya kurang memadai sehingga andalan tepat waktu tidak tercapai.
Harga buah di AS bisa merata sama di kota-kotanya, tidak lain berkat jaringan jalan rayan yang prima. Colin Moran dari TNT Indonesia pernah menyebutkan kendala besar bagi usaha jasa logistik di Indonesia adalah infrastruktur, khususnya jaringan jalan raya, perjalanan truk kurang aman jika beroperasi di malam hari. Truk mengalami berbagai gangguan antara lain pungli, perampokan maupun pembajakan pada jalur Jakarta-Surabaya.
Sementara di jalur Jakarta-Medan, jalan raya di daratan Pulau Sumatera keadaannya memprihatinkan sehingga perjalanannya memakan waktu enam hari. Akibatnya, dapat diramalkan, menambah biaya bagi produk yang diangkutnya.
MESKI menghadapi berbagai kendala, baik jasa logistik maupun jasa pengiriman ekspres, prospek ke depan tampaknya cukup cerah dengan pertumbuhan ekonomi Tanah Air menurut Harsha Joesoef lebih dari 5 persen. Institusi finansial JP Morgan, Stanley, dan Meryl Lynch, yang dihubunginya, positif atas angka pertumbuhan tersebut meskipun pemerintah memproyeksikan hanya sebesar 3,5 persen.
Pertumbuhan tersebut antara lain tercermin dari 103 outlets RPX yang tersebar di 63 kota. Kemudian akhir Juli lalu, memperluas jaringan pergudangan ke 15 kota Indonesia melalui kerja sama dengan PT Bhanda Ghara Reksa (BGR), BUMN penyedia jasa pergudangan nasional. Melalui kerja sama ini, Kelompok RPX dapat menggunakan jaringan 400 pergudangan milik BGR yang berada antara lain di Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, Medan, Padang, Pekanbaru, Palembang, Denpasar, Makassar, Palu, dan Ambon.
Tidak tanggung-tanggung, total luas pergudangan BGR 400.000 meter persegi, dengan kemampuan menangani logistik hingga satu juta ton per meter kubik. Gudang ini erat kaitannya dengan rangkaian program jasa supply and chain RPX yang antara lain pernah dinikmati Hewlett Packard-Compaq, Ericsson Indonesia, Masindo Utama Nusantara, dan Yamaha. "Mereka bisa konsentrasi dengan core business sehingga mereka bisa zero inventory benar-benar," ungkapnya.
Cermin lain, grup perusahaan Harsha awal September akan mengoperasikan tambahan sebuah pesawat full freighter Boeing 737-200. Dengan demikian, RPX akan mengoperasikan dua pesawat kargo untuk melayani pasar domestik. Grup ini juga menjadi GSA (general sales agents) bagi enam maskapai terkemuka dunia, di antaranya All Nippon Airlines, Qantas, dan perusahaan penerbangan kargo Cargolux.
Mereka juga menggandeng Sumitomo Transportation dalam upaya penetrasi pasar Jepang. "Saya memberanikan diri mengatakan bahwa kami adalah the leader (dalam usaha ini-Red). Sebab, saya tidak lihat ada pesaing yang mampu menyediakan pelayanan seperti kita, ada penerbangan kargo berjadwal dan ada gudangnya. Dari segi berat (tonase), pesaing ketinggalan oleh RPX," ujarnya penuh bangga.
Di lain pihak, Ajay Kaul, Deputy Director TNT Logistic, mengklaim dengan merebut saham 30 persen pangsa pasar ini, perusahaannya berada pada papan atas industri jasa pengiriman. Kehadirannya sudah menjalar sampai 17 kota Indonesia, ditambah dengan 11 sub-agen yang tersebar di berbagai kota.
Tidak tanggung pula kepercayaan TNT kepada potensi Indonesia-tahun ini menanam investasi sebesar 4 juta dollar AS-di antaranya berwujud gudang yang hampir selesai dibangun di kawasan kompleks pergudangan Soewarna, Bandara udara Soekarno-Hatta.
Selain pintu gerbang Halim Perdanakusuma, menurut data Kompas, perusahaan UPS dari AS juga menggunakan fasilitas gerbang Bandara Soekarno-Hatta, Ngurah Rai Bali, dan Hang Nadim Batam. Tahun lalu, perusahaan DHL, bagian dari perusahaan jasa logistik terbesar dunia-Deutsche Post World Net-ini selain menggunakan fasilitas Soekarno-Hatta Jakarta, juga Balikpapan, Denpasar, Medan, dan Batam. Mereka menguasai 50 persen usage share pangsa pasar pengiriman volume paket per hari dari Indonesia.
Tanpa disadari, sebenarnya Indonesia sudah membuka pintu cukup lebar kepada global forwarder. Lalu bagaimana sekarang?
Setidaknya Soedjarwo Sudarmo melalui Gafeksi menyatakan, ingin kebijaksanaan buka pintu ditinjau kembali. Harsha Joesoef mengingatkan Indonesia harus hati-hati membuka pasar bagi industri jasa ini. Pesan yang sama juga diingatkan oleh Arman Yahya, Managing Director Combi Freight International Air & Ocean Freight Forwarder maupun oleh Chairman MSA Kargo, Monang Sianipar.